Sebuah konsorsium industri–akademisi yang di pimpin oleh Fujitsu Ltd. tengah mengembangkan platform pemeriksa fakta berbasis kecerdasan buatan (AI) dengan tujuan mengatasi penyebaran misinformasi dan disinformasi online—terutama di tengah situasi kritis seperti bencana maupun menjelang pemilu.
Proyek ini di jadwalkan rampung pada akhir tahun fiskal 2025.
Pendanaan
Inisiatif ini didanai sekitar 6 miliar yen (sekitar Rp 660 miliar), melalui lembaga pemerintah Jepang, New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO).
9 Anggota Konsorsium & Perannya:
Anggota konsorsium terdiri dari Fujitsu, National Institute of Informatics (NII), NEC Corporation, serta beberapa institusi akademik seperti Keio Research Institute at SFC, Institute of Science Tokyo, University of Tokyo, University of Aizu, Nagoya Institute of Technology, dan Osaka University.
Fokus Pengembangan Teknologi:
-
Deteksi Disinformasi & Deepfakes
-
NII akan mengembangkan teknologi untuk mendeteksi deepfakes (gambar, video, audio), mengidentifikasi manipulasi, dan memberikan skor kepercayaan.
-
NEC membangun teknologi yang mengonversi konten media (gambar, video, audio) menjadi teks untuk analisis dan verifikasi.
-
-
Manajemen Bukti dan Integrasi Informasi
-
Keio Research Institute at SFC dan Fujitsu menciptakan struktur berbasis graf—“evidence/endorsement graph”—untuk menyimpan dan menautkan bukti yang di peroleh.
-
Osaka University akan memasukkan data sensor IoT dan melakukan inferensi wilayah sekitarnya jika bukti langsung tidak tersedia.
-
-
Penilaian Keaslian Informasi secara Komprehensif
-
Fujitsu akan mengembangkan engine untuk analisis konsistensi bukti sekaligus antarmuka pengguna berdasarkan LLM (Large Language Model) khusus—memanfaatkan keahlian dari superkomputer Fugaku dan model Takane.
-
Nagoya Institute of Technology membantu merancang UI/UX berbasis ilmu kognitif untuk mengatasi efek psikologis seperti “continued influence”—agar pengguna bisa lebih tepat menilai informasi.
-
-
Evaluasi Dampak Sosial Disinformasi
-
Institute of Science Tokyo, University of Tokyo, dan University of Aizu akan menciptakan sistem AI yang menganalisis penyebaran disinformasi: kecepatan menyebar, kemiripan dengan disinformasi sebelumnya, konteks sosial, dan dampaknya terhadap masyarakat.
-
Demonstrasi Sistem
Dalam sebuah uji coba, Direktur Senior Proyek di Fujitsu, Dai Yamamoto, mengetes sistem dengan memasukkan klaim palsu:
“Sekelompok pencuri asing mendatangi wilayah terdampak gempa Noto segera setelah bencana.”
Hanya dalam beberapa detik, sistem menyatakan bahwa klaim tersebut “Salah”, lengkap dengan artikel surat kabar sebagai bukti yang menentang klaim dan menilai media tersebut memiliki reliabilitas tinggi.
Deteksi Deepfake dan Informasi Palsu
Sistem ini dirancang juga untuk mengenali konten manipulatif seperti deepfake—gambar maupun video yang menampilkan sosok nyata namun dihasilkan oleh AI—dengan mendeteksi karakteristik yang sering tidak diperhatikan manusia.
Kenapa Ini Penting?
-
Percepatan Penilaian Fakta: Misinformasi tersebar sangat cepat—khususnya saat krisis. Sistem AI ini memungkinkan penilaian cepat, mengurangi kebutuhan pengecekan manual yang memakan waktu.
-
Skala dan Kompleksitas Modern: Deepfake dan disinformasi dengan pola canggih semakin sulit dibedakan secara manual. AI menawarkan pendekatan sistematis berbasis data untuk melawannya.
-
Transparansi & Kepercayaan Publik: Dengan menampilkan bukti dan analisis secara terbuka, sistem meningkatkan kepercayaan dan memungkinkan publik untuk memahami dasar penilaian.
-
Dampak Sosial Lebih Luas: Tidak hanya memeriksa fakta, sistem ini juga menilai sejauh mana disinformasi menyebar dan memengaruhi masyarakat — hal penting dalam strategi mitigasi disinformasi modern.
Kesimpulan
Konsorsium Jepang yang di pimpin Fujitsu bersama NII, NEC, dan institusi akademik bermaksud menciptakan platform pertama di dunia yang menangani disinformasi dari deteksi, integrasi bukti, analisis, hingga penilaian dampak sosial. Proyek ini didukung dana besar dari government (NEDO), dan di targetkan rampung akhir tahun fiskal 2025. Teknologi ini di yakini penting untuk menghadapi tantangan misinformasi yang semakin kompleks di era digital saat ini.